Thursday, October 13, 2011

Matilah Sebelum Engkau Mati

Matilah Sebelum Engkau Mati

Engkau telah banyak menderita,
tetapi engkau masih tetap terhijab, karena
kematian itu suatu pokok yang mendasar, dan
engkau belum mencapainya.

Deritamu tidak akan berakhir sampai engkau mati:
engkau tidak dapat menjangkau atap tanpa
menyelesaikan tangga panjatan.

Walau hanya tersisa dua buah dari seratus anak-tangga,
sang pemanjat yang telah keras berjuang tetap
saja terhalang dari menjejakkan kaki di atas atap.

Walau tambang hanya kurang satu dari seratus depa,
bagaimanakah caranya air-sumur masuk ke dalam timba.

Wahai pejalan, tidak akan pernah engkau mengalami
kehancuran kapal keberadaan-diri ini, sampai
engkau meletakkan pemberat terakhir.

Ketahuilah pemberat terakhir itu sangatlah pokok,
ia bagaikan bintang yang menembus, yang muncul pada
malam hari: ia menghancurkan kapal yang penuh
ide-jahat dan kesalahan ini.

Kapal bangga-diri ini, ketika ia sepenuhnya hancur,
menjadi matahari di tengah lengkung biru al-Jannah.

Selama engkau belum mati, deritamu akan terus berkepanjangan:
engkau akan dipadamkan manakala fajar merekah,
wahai lilin dari Thiraz!

Ketahuilah, Matahari dari alam ini tetap tersembunyi
sampai bintang-bintang kita tertutup.

Gunakanlah tongkat itu kepada dirimu-sendiri:
hancurkanlah cinta-dirimu, karena mata jasmaniah ini
bagaikan sumbat pada pendengaranmu.

Engkau tengah menggunakan tongkat itu kepada dirimu-sendiri,
wahai manusia rendah: cinta-diri ini adalah bayangan dari
dirimu-sendiri dalam cermin dari tindakan-tindakan-Ku

Engkau telah melihat bayangan dari dirimu-sendiri dalam
cermin dari bentuk-Ku, dan telah meradang,
ingin menempur dirimu-sendiri,

Bagaikan singa yang terjun ke dalam sumur;
karena menyangka bayangan dirinya-sendiri adalah musuhnya.

Tidak diragukan lagi, ketiadaan (‘adam) adalah lawan
dari keberadaan (wujud), maksudnya adalah agar dari
lawannya ini, engkau memperoleh sedikit pengetahuan
tentang yang sebaliknya.

Pada saat ini tidak ada sarana yang menyebabkan diketahuinya
Tuhan, kecuali dengan penyangkalan kebalikan:
dalam kehidupan kini tiada saat yang tanpa jebakan.

Wahai pemilik kesejatian,
jika engkau menginginkan ketersingkapan-hijab al-Haqq,
pilihlah kematian dan robeklah hijab.

Bukanlah ini kematian yang kemudian membawamu
ke dalam kubur, melainkan suatu kematian berupa
transformasi jiwa, sehingga ia akan membawamu ke dalam
suatu Cahaya.

Ketika seseorang beranjak dewasa, masa kanak-kanaknya mati;
ketika dia tumbuh putih seperti orang Yunani,
ia menanggalkan celupan hitamnya yang bagaikan orang Afrika.

Ketika bumi menjadi emas, tiada tertinggal unsur kebumiannya;
ketika sedih menjadi gembira, duri kesedihan tiada tersisa.

Karenanya, Sang Mustafa bersabda: “Wahai pencari
rahasia-rahasia, jika engkau hendak melihat orang mati yang hidup,

Yang berjalan-jalan di atas bumi, seperti orang yang masih hidup,
namun dia telah mati dan jiwanya telah pergi ke al-Jannah;

Orang yang jiwanya memiliki tempat-tinggal yang tinggi saat ini,
ketika ajalnya tiba, tidaklah jiwanya dipindahkan.

Karena dia telah dipindahkan sebelum mati:
rahasia ini hanya dimengerti dengan mengalami kematian,
bukannya dengan menggunakan nalar seseorang;

Tetaplah itu sebuah pemindahan, tetapi tidak sama
dengan pemindahan jiwa-jiwa dari mereka yang rendah:
itu mirip dengan suatu perpindahan dalam hidup ini,
dari suatu tempat ke tempat lain.

Jika ada yang ingin melihat seseorang yang telah mati,
tapi masih tampak berjalan di bumi,

Biarkanlah dia memperhatikan Abu Bakar,
sang shalih, yang dengan menjadi seorang saksi yang shiddiq,
menjadi Pangeran Kebangkitan.

Dalam hidup kebumian kini, tataplah sang shiddiq,
sehingga lebih yakin lagi engkau percaya kepada Kebangkitan.”

Karena itulah, Muhammad merupakan seratus kebangkitan jiwa,
di sini dan kini; sebab terlarutkan dia dalam kematian,
dari kehilangan dan keterikatan sementara.

Ahmad itu lahir dua-kali di alam ini:
dia memanifestasi dalam seratus kebangkitan.

Mereka bertanya kepadanya mengenai Kebangkitan:
“Wahai (engkau yang adalah) Sang Kebangkitan,
berapa jauhkah jalan menuju Kebangkitan?”

Dan sering dia akan berkata, dengan kefasihan bisu:
“Adakah seseorang menanyakan (kepadaku, yang adalah)
Sang Kebangkitan, mengenai Kebangkitan?”

Oleh karenanya, Sang Rasul yang membawa kabar-kabar gembira
berkata, dengan penuh-makna: “Matilah sebelum engkau mati,
wahai jiwa-jiwa mulia,

Seperti aku telah mati sebelum mati,
dan membawa dari Sana kemasyhuran dan keterkenalan ini.”

Sebab itu, jadilah kebangkitan dan, dengan demikian,
lihatlah kebangkitan: menjadi kebangkitan adalah syarat
yang diperlukan agar dapat melihat segala sesuatu
sebagaimana adanya.

Sampai engkau menjadi hal itu,
tidaklah akan engkau ketahui dengan sempurna,
apakah hal itu terang atau gelap.

Jika engkau menjadi ‘Aql,
engkau akan mengetahui ‘Aql dengan sempurna; jika
engkau menjadi Cinta, akan engkau ketahui nyala sumbu Cinta.

Akan aku nyatakan dengan jelas bukti dari pernyataan ini,
jika ada pengertian yang tepat untuk menerimanya.

Buah-ara mudah diperoleh di sekitar sini,
jika ada burung pemakan buah-ara yang mau bertamu.

Semuanya saja, lelaki ataupun perempuan, di seluruh alam,
tiada hentinya dalam sekarat, dan tengah mati.

Anggaplah kata-kata mereka sebagai wasiat kepada anaknya,
yang disampaikan seorang ayah pada saat seperti itu.

Sehingga dengan demikian, semoga tumbuh
di hatimu pertimbangan dan belas-kasih,
supaya akar kebencian dan kecemburuan dan permusuhan
dapat tercabut.

Pandanglah sesamamu dengan cara demikian,
sehingga terbakarlah hatimu dengan belas-kasih,
bagi sekaratnya.

“Semua yang mesti datang, akan datang:”
anggaplah dia sudah datang di sini dan kini,
anggaplah sahabatmu sedang sekarat dan tengah mati.

Dan jika kehendak-kehendak yang mementingkan diri-sendiri
menghalangimu dari pandangan seperti ini,
buanglah kehendak seperti ini dari dadamu;

Dan jika engkau tidak-mampu, janganlah
terus berdiam-diri dalam keadaan tidak-mampu itu:
ketahuilah bersama dengan setiap ketidak-mampuan terdapat
Yang-Membuat-tidak-mampu.

Ketidak-mampuan itu adalah sebuah belenggu:
Dia mengikatmu dengannya, engkau harus membuka
matamu untuk menatap Dia yang mengikatkan belenggu.

Karenanya, bermohonlah dengan rendah-hati, katakanlah:
“Wahai Sang Pemandu kehidupan, sebelumnya aku merdeka,
dan kini aku terjatuh dalam keterikatan;
gerangan apakah sebabnya?

Telah lebih keras dari sebelumnya kuinjak-injakan kakiku
pada kejahatan, karena Engkaulah Sang Maha Kuasa,
dan aku senantiasa berada dalam kerugian.

Selama ini aku tuli kepada seruan-Mu:
seraya mengaku-aku diri seorang penghancur berhala,
padahal sesungguhnya aku adalah seorang pembuat berhala.

Apakah lebih pantas bagiku merenungkan tentang
karya-karya-Mu atau tentang kematian?
(Tentang kematian): Kematian itu bagaikan musim-gugur, dan
Engkau adalah (akar yang merupakan) sumber dari dedaunan.”

Telah bertahun lamanya, kematian ini memukul-mukul
genderangnya, (tetapi hanya ketika) telah terlambat telingamu
tergerak mendengarkan.

Dalam kesakitannya (manusia yang lalai) menjerit dari kedalaman
jiwanya: “Wahai, aku tengah sekarat!” Apakah baru sekarang ini
Kematian membuatmu sadar akan kehadirannya?

Tenggorokan kematian serak karena teriakan-teriakannya;
genderangnya robek karena kerasnya pukulan-pukulan
yang diterimanya.

Tetapi engkau menghancurkan dirimu-sendiri dalam
remeh-temeh: baru kini engkau menangkap rahasia kematian.
-Jalaluddin Rumi-

No comments:

Post a Comment